KOPI FLORES BAJAWA
Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur, berada di ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut, menyuguhkan pesona alam nan asri di bawah hamparan kaki Gunung Inerie (2.245 mdpl).
Hamparan hutan kopi arabika organik dengan ketinggian 1 meter hingga 3,5 meter tersebar di beberapa titik di Kecamatan Golewa dan Bajawa.
Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, berasal dari kata bha artinya ’lembah’, ’kuali’, dan jawa artinya ’sejahtera’. Bhajawa: lembah kesejahteraan. Bajawa berada di lembah, diapit gunung dan bukit.
Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, berasal dari kata bha artinya ’lembah’, ’kuali’, dan jawa artinya ’sejahtera’. Bhajawa: lembah kesejahteraan. Bajawa berada di lembah, diapit gunung dan bukit.
Kota itu dibangun pada 1958 sebagai onder afdeling Ngada bersamaan dengan pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memisahkan diri dari Provinsi Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur). Suhu udara 15-30 derajat celsius. Saat siang hari pun suhu udara tetap dingin.
Wilayah ini memiliki tradisi budaya dan adat-istiadat yang kuat, mendorong kehidupan masyarakat Ngada dijiwai tradisi itu. Reba, ritual adat terbesar, menjiwai seluruh ciptaan alam, pembaruan kehidupan, rezeki, dan kekuatan.
Di sekitar Gunung Inerie dikembangkan tiga jenis tanaman perkebunan tradisional, yakni kelapa, kemiri, dan kopi robusta. Pada 1990-an diperkenalkan cengkeh, cokelat, dan vanili, tetapi tidak berkembang.
Buku Masyarakat Tradisional Ngada yang ditulis Piet Orinbao SVD (1982) menyebutkan, masyarakat agraris Ngada yakin, arwah leluhur sangat berpengaruh dalam aktivitas perkebunan (pertanian). Unsur magis tidak terpisahkan dari keberhasilan di bidang itu. Pantang bagi mereka melakukan tindakan melanggar moral sebab diyakini akan gagal panen.
Lahan yang luas dengan hasil melimpah dan berkualitas diyakini diberkati leluhur. Jika tanaman direstui, tidak akan diganggu pihak luar.
Arabika organik
Kopi arabika di Ngada mulai dibudidayakan tahun 1977. Kala itu Pemprov NTT membeli 4 kg bibit kopi propelegitim dan 4 kg bibit kopi arabika dari Jember. Propelegitim disemaikan di halaman kantor Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Ngada, sementara bibit kopi arabika disemaikan di perkebunan misi Katolik Malanuza, Boawae, 30 kilometer arah timur Ngada. Di sana terdapat sekolah pertanian menengah atas.
Pada masa Bupati Matheus John Bey (1978-1988), kopi arabika dikembangkan di Kecamatan Golewa dan Bajawa. Dua kecamatan ini berada di atas 1.000 mdpl, cocok dengan sifat arabika.
Luas tanaman kopi di Indonesia 1.302.043 hektar (ha), meliputi robusta 1.191.557 ha (91,05 persen) dan arabika 110.486 ha (8,95 persen). Sumatera memiliki lahan kopi 571.421 ha, Jawa 365.124 ha, Sulawesi 219.381 ha, dan NTT 146.117 ha. Kopi ini berupa perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta, dan negara.
Kopi arabika kini jadi tanaman favorit di Ngada. Mereka meyakini kopi ini telah direstui leluhur dan tidak akan digerogoti atau tersaingi. Budidaya kopi itu diutamakan organik sehingga menambah keistimewaan sehingga terus diincar.
Pengusaha di Amerika Serikat (AS) memesan 1.000 ton kopi arabika bajawa dalam bentuk biji melalui PT Indokom Citra Persada pada 2011. Namun, petani baru mencukupi 300 ton.
”Pengusaha kopi AS datang langsung ke Bajawa melihat pengolahan kopi arabika organik ini. Mereka tahu, kami sama sekali tidak pernah menggunakan pupuk kimia. Seluruh pengolahan dari pemetikan sampai menjadi bubuk tetap memperhatikan selera pasar internasional,” kata Ketua Unit Pengelolaan Hasil (UPH) Fa Masa, Vincent Loki, pertengahan April lalu.
Pesanan pun datang dari Jerman, Inggris, Belanda, Australia, dan Filipina. Setiap negara memesan 1.000-2.000 ton, tetapi belum terlayani. Bahkan, Filipina memesan 2.000 ton kopi bubuk dengan harga Rp 170.000 per bungkus, ukuran 0,5 kg.
Modal usaha kelompok UPH terbatas, perluasan lahan pun terkendala. Pemkab Ngada mengalokasikan dana Rp 14 miliar (2011) untuk 14 UPH, tetapi jumlah itu belum cukup.
Ngada adalah penghasil utama kopi di NTT dengan luas lahan 6.147 ha, terdiri dari 5.351 ha arabika dan 796 robusta. Produksi kopi arabika 500-700 kg gelondong merah per ha.
Kopi arabika organik adalah salah satu potensi daerah dengan penduduk 287.312 jiwa itu. Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Ngada Korsin Wea mengaku, cita rasa kopi arabika bajawa menempati peringkat pertama nasional pada 2010. Meski di Flores masih ada kopi di Manggarai dan kopi di Hokeng (Flores Timur), kopi bajawa tetap memiliki keistimewaan, keunikan, dan kekhasan karena berada di atas 1.000 mdpl. Debu vulkanik Gunung Inerie membuat aromanya lebih harum dan menyengat.
Dalam indikasi geografis, kopi ini bernama Arabica Flores Bajawa (AFB). Keunggulan lain, seperti mudah tumbuh, cepat berproduksi, usia produksi sampai 20 tahun, kapasitas produksi 4-5 kg gelondong merah per pohon, dan digemari, menyebabkan harga jual relatif tinggi dan stabil.
Kopi Flores Bajawa memiliki citarasa : heavy body, sweetness, chocolate, and tobacco nuts.